Agama


FILSAFAT
  1. Pengertian Filsafat
Pengertian fisafat, dalam sejarah perkembangan pemikiran kefilsafatan, antara satu ahli filsafat dengan ahli filsafat lainnya selalu berbeda dan hampir sama banyaknya dengan ahli filsafat itu sendiri. Pengertian filsafat dapat ditinjau dari dua segi, yakni secara etimologi dan terminologi.
.Secara Etimologi
Filsafat dalam bahasa arab dikenal dengan kata falsafah. Kata filsafat berasal dari bahasa Yunani, yaitu philosophia yang terdiri dari dua suku kata yakni philos yang berarti cinta, atau philia yang berarti persahabatan, dan kata sophos yang berarti inteligensi, kebijaksanaan, keterampilan, pengalaman, dan pengetahuan. Sehingga secara etimologi istilah filsafat berarti cinta kebijaksanaandalam arti yang sedalam-dalamnya, kemudian dari sini dikenal istilah philosophy dalam bahasa inggris. Dengan demikian seorang filsuf adalah pecinta atau pencari kebijaksanaan.
Sejarah telah mencatat bahwa istilah philosophia digunakan pertama kali oleh Pythagoras pada tahun 572 – 497 SM (sekitar abad ke-6 SM). Istilah philosophia ini muncul berawal ketika Pythagoras ditanya tentang apakah ia termasuk orang yang bijaksana. Pythagoras dengan rendah hati menjawab pertanyaan tersebut bahwa dirinya adalah pencinta kebijaksanaan (lover of wisdom).
Secara Terminologi

Istilah philosophia dan philosophos (falsafah dan failasuf) itu sendiri baru menjadi popular dan lazim digunakan pada masa Sócrates dan Plato (sekitar abad ke-5 SM).
Plato (427-384 SM) mendefinisikan filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli.
Aristóteles (382-322 SM) mendefinisikan filsafat sebagai pengetahuan yang meliputi kebenaran yang obyek kajiannya adalah ilmu metafísica, logika, retórika, etika, ekonomi dan estétika.
Al-Farabi (870-950 M) seorang filosof Islam mendefinisikan filsafat sebagai ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan bagaimana hakekat alam yang sebenarnya.
Rene Descartes (1590-1650 M) mengatakan bahwa filsafat adalah kumplan semua pengetahuan diman Tuhan ,alam dan manusia menjadi pokok penyelidikan.
Imanuel Kant (1724-1804 M) mengasumsikan bahwa filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan yang didalamnya tercakup masalah epistemology (filsafat pengetahuan) yang menjawab persoalan apa yang dapat kita ketahui.
Berdasarkan asumsi itulah, maka menurut Kant persoalan yang menjadi pokok kajian filsafat, yaitu;
1. Apakah yang dapat manusia ketahui (dijawab oleh metafisika);
2. Apa yang seharusnya diketahui / dikerjakan manusia (dijawab oleh etika);
3. Sampai dimanakah harapan manusia (dijawab oleh agama); dan
4. Apakah yang dinamakan manusia (dijawab oleh Anthropologi).
Langeveld berpendapat bahwa filsafat adalah berpikir tentang masalah–masalah yang akhir dan yang menentukan, yaitu maslah–masalah mengenai makna keadaan, Tuhan, keabadian dan kebebasan.
Menurut Harun Nasution, falsafat berasal dari bahasa Yunani yang tersusun dari dua kata, yakni philein dalam arti cinta dan sophos dalam arti hikmat (wisdom). Harun mengatakan bahwa orang Arab memindahkan kata Yunani philosophia ke dalam bahasa mereka dan menyesuaikannya dengan tabiat susunan kata-kata Arab, yaitu falsafa dengan pola fa’lala, fa’lalah dan fi’lal. Berdasarkan pola kalimat (kata) tersebut, maka penyebutan kata filsafat dalam bentuk kata benda seharusnya falsafah atau filsaf.
Lebih lanjut Harun mengatakan bahwa kata filsafat yang banyak digunakan dalam bahasa Indonesia, sebetulnya bukan murni berasal dari bahasa Arab falsafah dan juga bukan murni dari bahasa Barat philosophy. Akan tetapi, kata filsafat ini merupakan gabungan dari keduanya (bahasa Arab dan Barat). Kata fil diambil dari bahasa Barat dan safah dari bahasa Arab. Berfilsafat menurut Harun adalah berfikir menurut tata tertib (logika) dengan bebas (tidak terikat pada tradisi, dogma dan agama) dan dengan sedalam-dalamnya sampai ke dasar-dasar persoalan. 

Berdasarkan pengertian itulah, maka Harun mendefinisikan filsafat sebagai :
• Pengetahuan tentang hikmah;
• Pengetahuan tentang prinsip atau dasar-dasar;
• Mencari kebenaran; dan
• Membahas dasar-dasar dari apa yang dibahas.
M. Rasjidi dan Harifuddin Cawidu menyatakan bahwa falsafah (dalam bahasa Arab) berasal dari bahasa Yunani yakni dari kata philosophia, yang terambil dari akar kata philo atau philein yang berarti cinta (loving) dan shopia yang berarti pengetahuan, kebijaksanaan (hikmah atau wisdom). Jadi philosophia artinya cinta kebijaksanaan. Orang yang cinta kepada kebijaksanaan atau pengetahuan atau kebenaran menurut Rasjidi disebut philosophos, dalam bahasa Arab disebut failasuf. Dengan demikian, philosophos atau failasuf adalah orang yang menjadikan pengetahuan sebagai usa dan tujuan hidupnya. Dengan kata lain, philosophos atau failasuf adalah orang yang mengabdikan dirinya kepada pengetahuan dan kebenaran. Rasjidi lebih lanjut menyatakan bahwa meskipun falsafah berasal dari bahasa Yunani sebagai daerah sumber awal kegiatan berfalsafah, tetapi dalam bahasa Arab asli terdapat suatu kata yang mirip dengan makna filsafat, yaitu kata hikmat. Menurut Rasjidi, makna asal dari kata hikmat adalah tali kendali yang digunakan pada seekor kuda untuk mengekang keliarannya. Juga berarti pengetahuan atau kebijaksanaan. Atas dasar itu, maka diambillah kata hikmat sebagai sinonim dari kata filsafat. Karena seseorang yang memiliki hikmat (pengetahuan) itu, seharusnya dapat lebih bijaksana dan dapat membentengi dirinya dari perbuatan rendah dan hina.
Ali Mudhafir berpendapat bahwa kata filsafat dalam bahasa Indonesia memiliki padanan kata falsafah (bahasa Arab), philosophy (bahasa Inggris), philosophie (bahasa Jerman, Belanda dan Francis). Menurut Ali Mudhafir, semua kata itu berasal dari bahasa Yunani philosophia. Sedangkan kata philosophia itu sendiri terdiri dari dua suku kata, yakni philein, philos dan sophia. Philein berarti mencintai, philos berarti teman, sophos berarti bijaksana dan sophia berarti kebijaksanaan. Dengan demikian, kata filsafat secara etimologi menurut Mudhafir memiliki dua pengertian yang berbeda. Pertama, istilah filsafat dilihat dari asal kata philein dan sophos, maka ia berarti mencintai hal-hal yang bersifat bijaksana (filsafat sebagai kata sifat). Kedua, istilah filsafat dilihat dari asal kata philos dan sophia, maka ia berarti teman kebijaksanaan (filsafat sebagai kata benda). Ia sendiri memberikan pendapat yang sangat beragam. Yakni sebagai berikut:
  1. Filsafat sebagai suatu sikap terhadap kehidupan dan alam semesta
  2. Filsafat sebagai suatu metode
  3. Filsafat sebagai kelompok persoalan
  4. Filsafat sebagai sekelompok teori atau sistem pemikiran
  5. Filsafat sebagai analisis logis tentang bahasa dan penjelasan makna istilah
  6. Filsafat merupakan usaha untuk memperoleh pandangan yang menyeluruh
Dari pengertian dan definisi filsafat yang dikemukakan oleh para ahli dan filosof sebagaimana tersebut di atas, dapat dipahami bahwa:
  1. Filsafat adalah usaha spekulatif yang rasional, sistematik dan konseptual untuk memperoleh pengetahuan atau pandangan yang selengkap mungkin mengenai realitas (kebenaran). Tujuannya adalah untuk mengungkapkan atau menggambarkan dengan kata-kata, hakekat realitas akhir yang mendasar dan nyata.
  2. Filsafat adalah ikhtiar untuk menentukan batas-batas dan jangkauan pengetahuan secara koheren dan menyeluruh (holistic dan comprehensive), sebagaimana yang tampak dari kegiatan filosofis yang mencari sumber, hakikat, keabsahan dan nilai-nilai pengetahuan apapun.
  3. Filsafat adalah wacana tempat berlangsungnya penelusuran kritis terhadap berbagai pernyataan dan asumsi yang umumnya merupakan dasar suatu pengetahuan.
  4. Filsafat dapat dipandang sebagai tubuh pengetahuan yang memperlihatkan lepada kita apa yang kita katakan, dan mengatakan kepada kita apa yang kita lihat.
    Berdasarkan uraian yang dikemukakan di atas, maka dapat dipahami bahwa ruang lingkup pembahasan filsafat adalah, pertama, kajian yang berkenaan dengan pencarian kebenaran fundamental dengan cara : (a) argumentatif, yakni pemaparan pendapat yang rasional dengan disertai dasar-dasar penalarannya; (b) non-empirik, yakni tidak berdasarkan pemahaman inderawi. Kedua, penalaran filosofis yang umumnya sibuk menanyakan serta menelusuri makna dan penyebab dasar dari berbagai pengetahuan tanpa mengenal batas apapun, baik batas alamiah, apalagi batas buatan manusia, seperti batas ruang, waktu, agama atau kepercayaan, adat istiadat, etnik, ilmu, dan hal-hal lainnya. Penalaran filosofis yang dimaksud adalah penalaran yang selalu mengandung ciri-ciri skeptis (meragukan), menyeluruh (holistic, comprehensive), mendasar (radikal), kritis, dan analitis.
    Filsafat adalah upaya manusia untuk menemukan kebenaran hakiki melalui cara berpikir yang sistematis, komprehensif (menyeluruh, meluas), dan radikal (sampai ke akar-akarnya). Melalui berfikir filsafat, diharapkan manusia menjadi lebih mampu bersikap.


  1. Obyek Filsafat
Obyek adalah sesuatu yang merupakan bahan dari suatu penelitian atau pembentukan pengetahuan. Setiap ilmu pengetahuan pasti mempunyai obyek, yang dibedakan menjadi dua, yaitu obyek material dan obyek formal.

Obyek Material Filsafat 
Obyek material filsafat yaitu suatu bahan yang menjadi tinjauan penelitian atau pembentukan pengetahuan itu, juga segala sesuatu yang ada dan mungkin ada, baik materi konkret, psisik, maupun yang material abstrak, psikis. Termasuk pula pengertian abstrak-logis, konsepsional, spiritual, nilai-nilai. Dengan demikian obyek filsafat tak terbatas, yakni segala sesuatu yang ada (konkret) dan yang mungkin ada (abstrak).

 Obyek Formal Filsafat
Obyek formal filsafat yaitu sudut pandang yang ditujukan pada bahan dari penelitian atau pembetukan pengetahuan itu, atau dari sudut mana obyek material itu disorot, yang menyelidiki segala sesuatu itu guna mengerti sedalam dalamnya, atau mengerti obyek material itu secara hakiki, mengerti kodrat segala sesuatu itu secara mendalam (to know the nature of everything). Obyek formal inilah sudut pandangan yang membedakan watak filsafat dengan pengetahuan. Karena filsafat berusaha mengerti sesuatu sedalam dalamnya.
Satu obyek material dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang yang berbeda-beda sehingga menimbulkan ilimu yang berbeda-beda. Misalnya yang menjadi obyek materialnya adalah manusia, bila ditinjau dari sudut pandang yang berbeda-beda maka ada beberapa ilmu yang mempelajari manusia, diantaranya psikologi, antropologi, soiologi dan lainnya. Dengan demikian pada dasarnya, untuk mengenal esensi suatu ilmu, bukanlah pada obyek materialnya, melainkan pada obyek formalnya.
Menurut Ir. Pudjawijatna, obyek materi filsafat adalah ada dan mungkin ada. Obyek materi filsafat tersebut sama dengan obyek materi dari ilmu seluruhnya. Yang menentukan perbedaan ilmu yang satu dengan yang lainnya adalah obyek formanya, sehingga kalau ilmu membatasi diri dan berhenti pada dan berdasarkan pengalaman, sedangkan filsafat tidak membatasi diri, filsafat hendak mencari keterangan yang sedalam-dalamnya, inilah obyek formal filsafat.

  1. Sistematik Filsafat
  1. Ontologi
Ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang yang ada. Dalam kaitan dengan ilmu, landasan ontologi mempertanyakan tentang obyek yang ditelaah oleh ilmu, bagaimana wujud hakikinya, serta bagaimana hubungannya dengan daya tangkap manusia yang berupa berpikir, merasa, dan meng-indera yang membuahkan pengetahuan.
Obyek telaah Ontologi tersebut adalah yang tidak terlihat pada satu perwujudan tertentu, yang membahas tentang yang ada secara universal, yaitu berusaha mencari inti yang dimuat setiap kenyataan yang meliputi segala realitas dalam semua bentuknya. Adanya segala sesuatu merupakan suatu segi dari kenyataan yang mengatasi semua perbedaan antara benda-benda dan makhluk hidup, antara jenis-jenis dan individu-individu. Dari pembahasannya memunculkan beberapa pandangan yang dikelompokkan dalam beberapa aliran berpikir, yaitu:
1.
Materialisme;
Aliran yang mengatakan bahwa hakikat dari segala sesuatu yang ada itu adalah materi. Sesuatu yang ada (yaitu materi) hanya mungkin lahir dari yang ada.
2. Idealisme (Spiritualisme);
Aliran ini menjawab kelemahan dari materialisme, yang mengatakan bahwa hakikat pengada itu justru rohani (spiritual). Rohani adalah dunia ide yang lebih hakiki dibanding materi.
3. Dualisme;
Aliran ini ingin mempersatukan antara materi dan ide, yang berpendapat bahwa hakikat pengada (kenyataan) dalam alam semesta ini terdiri dari dua sumber tersebut, yaitu materi dan rohani.
4. Agnotisisme.
Aliran ini merupakan pendapat para filsuf yang mengambil sikap skeptis, yaitu ragu atas setiap jawaban yang mungkin benar dan mungkin pula tidak.

  1. Epistemologi
Obyek telaah epistemologi adalah mempertanyakan bagaimana sesuatu itu datang dan bagaimana mengetahuinya, bagaimana membedakan dengan yang lain. Jadi berkenaan dengan situasi dan kondisi ruang serta waktu tentang sesuatu hal. Landasan epistemologi adalah proses apa yang memungkinkan mendapatkan pengetahuan logika, etika, estetika, bagaimana cara dan prosedur memperoleh kebenaran ilmiah, kebaikan moral dan keindahan seni, serta apa definisinya. Epistemologi moral menelaah evaluasi epistemik tentang keputusan moral dan teori-teori moral.
Dalam epistemologi muncul beberapa aliran berpikir, yaitu:
Yang berarti pengalaman (empeiria), dimana pengetahuan manusia diperoleh dari pengalaman inderawi.
2. Rasionalisme
Tanpa menolak besarnya manfaat pengalaman indera dalam kehidupan manusia, namun persepsi inderawi hanya digunakan untuk merangsang kerja akal. Jadi akal berada diatas pengalaman inderawi dan menekankan pada metode deduktif.
3. Positivisme
Merupakan sistesis dari empirisme dan rasionalisme. Dengan mengambil titik tolak dari empirisme, namun harus dipertajam dengan eksperimen, yang mampu secara obyektif menentukan validitas dan reliabilitas pengetahuan.
4. Intuisionisme
Intuisi tidak sama dengan perasaan, namun merupakan hasil evolusi pemahaman yang tinggi yang hanya dimiliki manusia. Kemampuan ini yang dapat memahami kebenaran yang utuh, yang tetap dan unik.

  1. Aksiologi
Aksiologi adalah filsafat nilai. Aspek nilai ini ada kaitannya dengan kategori: (1) baik dan buruk; serta (2) indah dan jelek. Kategori nilai yang pertama di bawah kajian filsafat tingkah laku atau disebut etika, sedang kategori kedua merupakan obyek kajian filsafat keindahan atau estetika.
1. Etika
Etika disebut juga filsafat moral (moral philosophy), yang berasal dari kata ethos (Yunani) yang berarti watak. Moral berasal dari kata mos atau mores (Latin) yang artinya kebiasaan. Dalam bahasa Indonesia istilah moral atau etika diartikan kesusilaan. Obyek material etika adalah tingkah laku atau perbuatan manusia, sedang obyek formal etika adalah kebaikan atau keburukan, bermoral atau tidak bermoral.
Moralitas manusia adalah obyek kajian etika yang telah berusia sangat lama. Sejak masyarakat manusia terbentuk, persoalan perilaku yang sesuai dengan moralitas telah menjadi bahasan. Berkaitan dengan hal itu, kemudian muncul dua teori yang menjelaskan bagaimana suatu perilaku itu dapat diukur secara etis. Teori yang dimaksud adalah Deontologis dan Teologis.
a. Deontologis.
Teori Deontologis diilhami oleh pemikiran Immanuel Kant, yang terkesan kaku, konservatif dan melestarikan status quo, yaitu menyatakan bahwa baik buruknya suatu perilaku dinilai dari sudut tindakan itu sendiri, dan bukan akibatnya. Suatu perilaku baik apabila perilaku itu sesuai norma-norma yang ada.
b. Teologis
Teori Teologis lebih menekankan pada unsur hasil. Suatu perilaku baik jika buah dari perilaku itu lebih banyak untung daripada ruginya, dimana untung dan rugi ini dilihat dari indikator kepentingan manusia. Teori ini memunculkan dua pandangan, yaitu egoisme dan utilitarianisme (utilisme). Tokoh yang mengajarkan adalah Jeremy Bentham (1742 – 1832), yang kemudian diperbaiki oleh john Stuart Mill (1806 – 1873).
2. Estetika
Estetika disebut juga dengan filsafat keindahan (philosophy of beauty), yang berasal dari kata aisthetika atau aisthesis (Yunani) yang artinya hal-hal yang dapat dicerap dengan indera atau cerapan indera. Estetika membahas hal yang berkaitan dengan refleksi kritis terhadap nilai-nilai atas sesuatu yang disebut indak atau tidak indah.
Dalam perjalanan filsafat dari era Yunani kuno hingga sekarang muncul persoalan tentang estetika, yaitu: pertanyaan apa keindahan itu, keindahan yang bersifat obyektif dan subjektif, ukuran keindahan, peranan keindahan dalam kehidupan manusia dan hubungan keindahan dengan kebenaran. Sehingga dari pertanyaan itu menjadi polemik menarik terutama jika dikaitkan dengan agama dan nilai-nilai kesusilaan, kepatutan, dan hukum.
  1. Karakter Berpikir
Berfilsafat berarti berpikir, tetapi tidak semua aktivitas berpikir dapat disebut berfilsafat. Menurut Cecep Sumarna suatu kerangka berpikir tertentu, baru dapat disebut berfilsafat apabila memenuhi ciri-ciri sebagai berikut:
    1. Radikal (radix – Yunani), arti dasarnya adalah akar. Jadi berpikir radikal berarti berpikir sampai ke akar-akarnya, tidak tanggung-tanggung, tidak ada sesuatu yang terlarang untuk dipikirkan
    2. Sistemik, artinya berpikir logis, step by step, penuh kesadaran, berurutan dan penuh tanggung jawab
    3. Universal, artinya berpikir secara menyeluruh, tidak terbatas pada bagian-bagian tertentu, tetapi mencakup keseluruhan aspek, baik yang kongkrit maupun yang abstrak.
Adapun menurut Ali Mudhofir (1996) ciri-ciri berfikir secara kefilsafatan adalah sebagai berikut:
  1. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara radikal.
    Radikal berasal dari kata Yunani radix yang berarti akal. Berfikir secara radikal adalah berfikir sampai ke akar-akarnya. Berfikir sampai ke hakekat, esensi atau sampai ke substansi yang dipikirkan.
  2. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara universal (umum)
    Berfikir secara universal adalah berfikir tentang hal serta proses yang bersifat umum, dalam arti tidak memikirkan sesuatu yang parsial.
  3. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara konseptual
  4. Berfikir kefilsafatan dicirikan secara koheren dan konsisten
  5. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara sistematik
  6. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara komprehensif
  7. Berfikir secara kefisafatan dicirikan secara bebas
  8. Berfikir secara kefilsafatan adalah pemikiran yang bertanggung jawab.
Asal dan Peranan Filsafat
  1. Asal filsafat
    Ada 3 hal yang mendorong manusia untuk berfikir filsafat :
    1. Keheranan
      Banyak filsuf menunjukkan rasa heran (dalam bahasa Yunani thaumasia) sebagai asal filsafat
    2. Kesangsian
      Filsuf lain, misalnya Agustinus (254-430 M) dan Rene Descrates (1596-1650 M) menunjukkan kesangsian sebagai sumber utama pemikiran.
    3. Kesadaran akan keterbatasan
      Manusia mulai berfilsafat jika ia menyadari bahwa dirinya itu sangat kecil dan lemah terutama bila di bandingkan dengan alam sekelilingnya.
  1. Peranan filsafat
  1. Pendobrak
    Berabad-abad lamanya intelektualitas manusia tertawan dalam penjara tradisi dan kebiasaan
  2. Pembebas
    Filsafat membebaskan manusia dari segala jenis “penjara” yang mempersempit ruang gerak akal budi manusia
  3. Pembimbing
    Bagaimanakah filsafat dapat membebaskan manusia dari segala jenis “penjara” yang hendak mempersempit ruang gerak akal budi manusia itu.3
     

    Ciri Khas Berfikir Kefilsafatan
    1.Sebagai pemikir dan menjadi kritisnya manusia terhadap dirinya sendiri
    2.Sebagai pemikir dalam dunia yang difikirkan
    Dalam memikirkan masalah-masalah itu, ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu :
    a. Adanya inter-relasi (saling hubungan) diantara jawaban kefilsafatan
    b. Pikiran yang filosofis haruslah runtut (coherent)
    Dibawah ini beberapa hukum berfikir yang dapat dijadikan sebagai patokan :
    1. Hukum identitas, bunyinya : “sesuatu benda adalah benda itu sendiri“, artinya, bahwa arti dari sesuatu benda tetap sama selama benda itu dipikirkan
    2. Hukum kontradiktif, bunyinya “sesuatu benda tidak bisa menjadi benda itu sendiri dan benda lain pada waktu yang sama”. Maksudnya adalah bahwa dua sifat yang berlainan tidak mungkin ada pada suatu benda pada waktu dan tempat yang sama.
    3. Hukum penyisihan jalan tengah, bunyinya “segala sesuatu harus positif atau negative. A pastilah B atau bukan B. artinya, sifat yang berlawanan tidak mungkin kedua-duanya dimiliki oleh suatu benda. Yang mungkin adalah hanya salah satu yang bisa dimiliki.

Sedangkan menurut Jujun S. Suriasumantri bahwa ciri-ciri berpikir filosofis adalah:
  1. Sifat berpikirnya menyeluruh. Seorang filosof tidak puas mengenal ilmu hanya dari perspektif ilmu itu sendiri, tetapi ia ingin melihat hakikat ilmu itu dalam perspektif yang lain. Ia ingin menghubungkan ilmu itu dengan aspek-aspek lainnya. Ia ingin mengetahui kaitan ilmu dengan moral dan kaitan ilmu dengan agama. Ia ingin meyakini apakah ilmu yang diketahuinya itu dapat membawa manfaat atau tidak.



    Artinya, Pemikiran yang luas karena tidak membatasi diri dan bukan hanya ditinjau dari satu sudut pandang tertentu. Pemikiran kefilsafatan ingin mengetahui hubungan antara ilmu yang satu dengan ilmu - ilmu yang lain, hubungan ilmu dan moral, seni dan tujuan hidup.
  1. Sifat berpikirnya mendasar. Seorang filosof tidak percaya begitu saja kebenaran ilmu yang diperolehnya. Ia selalu ragu dan mempertanyakannya; Mengapa ilmu dapat disebut benar ? Bagaimana proses penilaian berdasarkan kriteria tersebut dilakukan ? Apakah kriteria itu sendiri benar ? Lalu benar itu sendiri apa ? Seperti sebuah lingkaran dan pertanyaan-pertanyaan pun selalu muncul secara berkelindan.Artinya, pemikiran yang dalam sampai kepada hasil yang fundamental atau esensial obyek yang dipelajarinya sehingga dapat dijadikan dasar berpijak bagi segenap nilai dan keilmuan. Jadi, tidak hanya berhenti pada periferis. ( Kulitnya ) saja, tetapi sampai tembus ke kedalamannya
  1. Sifat berpikirnya spekulatif. Seorang filosof melakukan spekulasi terhadap kebenaran. Sifat spekulatif itu pula seorang filosof terus melakukan uji coba lalu melahirkan sebuah pengetahuan dan dapat menjawab pertanyaan terhadap kebenaran yang dipercayainya.
    Berdasarkan ciri-ciri filsafat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa berfilsafat adalah suatu aktivitas yang menggunakan potensi akal seluas-luasnya dan sebebas-bebasnya tanpa dibatasi oleh sesuatu apapun secara radikal, tersistematis, universal dan menyeluruh serta bersifat spekulatif dan mendasar dalam mengungkap hakikat suatu kebenaran.
Artinya, hasil pemikiran yang didapat dijadikan dasar bagi pemikiran selanjutnya. Hasil pemikirannya selalu dimaksudkan sebagai dasar untuk menjelajah wilayah pengetahuan yang baru. Meskipun demikian, tidak berarti hasil pemikiran kefilsafatan itu meragukan, karena tidak pernah mencapai penyelesaian.  
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Asmoro. 2005. Filsafat Umum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Sudarsono. 2004. Filsafat Islam. Jakarta: PT Rineka Cipta
Surajiyo. 2007. Ilmu Filsafat. Jakarta: PT Bumi Aksara.

by : Kudabayor.blogspot.com